Dimensi Waktu Dalam Komunikasi AntarBudaya


sumber : internet


Waktu adalah elemen yang sangat penting bagi kehidupan. Bahkan di dalam Al Qur’an banyak ayat yang membahas tentang waktu. 

Ada 'Wad Duha' (ketika matahari sepenggalan naik), atau surat Al Ashr (Demi Masa). Bahkan ada umpama yang mengatakan bahwa, “Apabila hari ini lebih buruk daripada hari kemarin (celaka), apabila hari ini sama dengan hari kemarin  (rugi), dan apabila hari ini lebih baik daripada hari kemarin (untung)”.

Sekilas saya mendefinisikan tentang waktu. Dan apa yang dimaksud “Dimensi Waktu Dalam Komunikasi AntarBudaya.” Saya mencoba merangkum tema diatas, dari buku “Komunikasi AntarBudaya: Panduan Berkomunikasi Dengan Orang – Orang Berbeda Budaya”.

Perbedaan konsepsi waktu, perwaktuan dan tempo khusus dari kelompok – kelompok budaya dibicarakan sebagai dimensi komunikasi antarbudaya. Waktu sebagai variable penting dan serba meliputi, yang mendasari semua situasi komunikasi intercultural.

Aspek utama temporalitas manusia dijelaskan dan dihubungkan dengan situasi dan kondisi antarbudaya. “Perilaku temporal“, dapat digambarkan oleh taksonomi. 

Taksonomi ini disarankan untuk digunakan sebagai alat untuk mengamati, menganalisis, dan menelaah hal mengalami waktu (kronemika) dari komunikasi antarbudaya.

Menarik untuk dicermati, akhir – akhir ini (atau mungkin sudah ada sejak lama). Masyarakat Indonesia terkenal dengan jam karetnya “Ngaret“. Artinya pada saat berjanji dengan waktu yang sudah disepakati. Terkadang mengundurkan waktunya, entah itu 30 menit, 1 jam , 2 jam, dan seterusnya. Hal ini justru menjadi hal yang “Wajar“ di Indonesia. 

Padahal apabila kita melakukan bisnis dengan orang lain maka berapa jumlah kerugian yang akan hilang karena “ngaret” tersebut. 

Apakah ngaret ini karena kebiasaan sehingga sudah menjadi budaya ataukah hanya sekedar “penyakit” individual. 

Karena tidak semua orang melakukan “ngaret”. Hal ini perlu diteliti dan ditindak secara lebih lanjut. Dan Taksonomi bisa dijadikan alat untuk mengamati, menganalisis, dan menelaah hal mengalami waktu.

Taksonomi dapat digunakan untuk menganalisis dan menelaah perilaku waktu dan lingkungan waktu dari berbagai bentuk interaksi. Di bawah ini sangat berkaitan satu sama lain dan hierarki tingkat perilaku temporal tidak selalu dianjurkan :

Dorongan Waktu ( Temporal drives )

Petunjuk Waktu ( temporal Signal )

Sinyal Waktu ( Temporal Signal )

Perkiraan waktu ( temporal estimates )

Lambang waktu ( temporal symbolis )

Kepercayaan Waktu ( temporal beliefs )

Motif waktu ( temporal motives )

Penilaian waktu ( temporal judgment )

Nilai Waktu ( temporal values )

WAKTU MENENTUKAN HUBUNGAN ANTARMANUSIA. POLA HIDUP MANUSIA DALAM WAKTU DIPENGARUHI OLEH BUDAYANYA :

1. WAKTU POLIKRONIK:  Memandang sebagai suatu putaran yang kembali dan kembali lagi. Mereka cenderung mementingkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam waktu ketimbang waktu itu sendiri, menekankan keterlibatan orang-orang dan penyelesaian transaksi ketimbang menepati jadwal waktu.

2. MONOKRONIK: Memandang waktu sebagai berjalan lurus dari masa silam ke masa depan dan memperlakukannya sebagai entitas yang nyata dan bisa dipilah-pilah, dihabiskan, dibuang, dihemat, dll. ( Dadan Anugerah : Dimensi Waktu Dalam KLB ).

Oswald Spengler berkata, “ Makna yang secara intuitif diterapkan pada waktulah yang menyebabkan satu budaya dibedakan dari budaya yang lain” ( 1926 : 130 ). Pandangan bahwa temporalitas satu budaya lebih baik dari temporalitas budaya yang lain tampak sebagai dasar utama persepsi antarbudaya terhadap inferioritas dan superioritas.

Jika suatu kelompok budaya menganggap bahwa “waktu mereka” lebih tinggi dari pada waktu, perwaktuan, dan tempo kelompok budaya lain; maka mereka telah meletakkan dasar untuk lebih menyukai aspek – aspek budaya berkenaan dengan ruang, penetapan ruang, dan gerak lewat ruang. Bahkan bahasa bisa dikaitkan dengan pandangan superioritas dan inferioritas waktu.

Falsafah Cassirer yang secara meluas diterima dan dihormati mempunyai praduga kasar bahasa – bahasa yang “maju adalah bahasa yang lebih terperinci dalam Zeitworternya (kata waktu ) dari bahasa – bahasa yang kurang maju. ( Cassirer 1953:215-226 ).

Dalam Buku “Politik Panjat Pinang” karya Komaruddin Hidayat, dikatakan bahwa ada teori, secara antropologis bangsa ini tergolong sebagai the defeated culture. Sebuah bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk selalu kalah. Kemudian Teori ini dibantah, karena Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum, bila mereka tidak mengubah nasib suatu kaum, bila mereka tidak mau mengubah nasib dirinya. 

Yang lain berpendapat, ini semua akibat dimanja alam yang subur sehingga menjadi malas. Yang lain lagi berpendapat, karena tidak mengenal siklus empat musim, bangsa Indonesia tidak terbiasa membuat perencanaan dan antisipasi ke depan sebagaimana mereka yang mengenal musim salju yang mencekam. 

Lainnya menyebutkan, kehancuran mental bangsa ini akibat terlalu lama dijajah sehingga suasana batinnya selalu ingin marah, memberontak, mencari jalan pintas, dan mereka hanya tunduk pada pemimpin yang kuat. 

Akibat, lama dijajah, baik oleh kekuatan asing maupun pemerintahan sendiri, masyarakat tidak memilki tradisi hidup teratur dan disiplin kecuali diancam dengan senjata. ( 2006:75 ).

Pernyataan diatas ada benarnya juga, apabila dilihat dari sudut pandang saya sebagai pengamat, memang Indonesia cenderung kepada sifat “malas” sehingga sifat tersebut bisa mempengaruhi budayanya. Dan dikaitkan lagi dengan tradisi “ngaret” maka bisa saja “ngaret” adalah sub bagian dari malas sehingga masyarakat tidak hidup teratur dan disiplin. 

Dimensi Waktu terhadap Komunikasi Antar Budaya juga bisa dilihat pada masyarakat Bali saat ini, dulu sekitar tahun 1920 atau 1930, wanita bali masih mengenakan baju tradisionalnya sedangkan “maaf” payudaranya masih terlihat. Tapi, sekarang wanita Bali saat ini mengenakan baju tradisionalnya dengan tertutup. Hal ini bisa menunjukan bahwa ada sebuah proses budaya dari waktu ke waktu.

Keajegan citra masa depan satu kelompok budaya mungkin dapat mencegah atau menghalangi anggota kelompok budaya tersebut untuk memikirkan hal yang ada kaitannya dengan perencanaan atau berbagi cara berharap. 

Aspek penting lainnya dari dimensi waktu berkenaan dengan cara bagaimana dan sejauh mana menjaga waktu yang objektif digunakan dan bagaimana hal demikian mempengaruhi kecepatan waktu (temporal pacing) dan pola – pola waktu dalam budaya tertentu. Yang lebih penting lagi bagaimana kendala dan kendali waktu objektif dapat mempengaruhi orang dari berbagai budaya dengan orientasi waktu yang berlainan.



Referensi :

Hidayat, Komaruddin.”Politik Panjat Pinang:Di Mana Peran Agama ?”.Jakarta: Kompas, 2006.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. “ Komunikasi AntarBudaya : Panduan Berkomunikasi dengan Orang – Orang Berbeda Budaya .” Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005.

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007.

Related Post



Posting Komentar