Dari Tampomas Menuju Rinjani 2

Jam tiga sore di hari yang sama, Ilham dan keempat rekannya bersiap memulai langkah awal ekspedisi. Kereta api Malabar akan membawanya menyusuri rel demi rel di Pantai Jawa Selatan menuju perhentian pertama: Malang. 

Kereta api pun melaju dengan kecepatan penuh, meninggalkan kota Bandung, keluarga, teman dan kerabat untuk pengalaman baru dan ilmu baru sebagai sebuah tim.

Malang, 14 Juli 2011 pagi yang dingin membawa Ilham menepikan dan merebahkan badan sejenak. Setelah perjalanan jauh dari Bandung. Akhirnya, ia sampai di Malang. Menunggu perjalanan selanjutnya: Bali. 

Bus Dahlia, menjadi pilihan yang Ilham dan rekan-rekan ambil saat itu. Tiket murah 80ribu, membawa ia menuju petualangan baru.

“Hati-hati, nanti jika tiba di suatu daerah. Sering terjadi penipuan,” ujar supir  Bus Dahlia.

Ilham sempat was-was,tegang dan khawatir. Ternyata benar apa yang dikatakan sang supir. lima orang naik ke dalam Bus, “saya kehilangan barang-barang. Mau menolong saya?,” ujar salah satu pemuda sambil memperlihatkan jam tangan emas palsunya. Pemuda yang lainnya, mencoba memanas-manasi. Sepertinya mereka telah bekerja sama untuk menipu. Akhirnya kelima orang itu, gagal dalam menjalankan misinya: menipu.

Ilham dan keempat rekannya sedikit lega. Tetapi, tak berlangsung lama. Penderitaan mereka kembali datang. Beberapa bule masuk ke dalam Bus. Dzikri tertimpa sial, ia tertimpa tubuh bule yang bersandar di sampingnya. Tubuhnya menjadi “kasur” bagi bule tersebut. “Dasar bule gila, bule kere, masa naik bus yang tiketnya 80ribu. Bule kere” ujar Ilham tertawa.

Pelabuhan Padang Bai melambai. Pulau Lombok akan segera ditempuh selama tiga jam. Tim ekspedisi, segera menyebrang naik kapal Ferri menjadi penumpang gelap. Kang Estu, biasa anggota tim yang lain memanggil bernegosiasi dengan sopir truk fuso. Pulau Lombok menjadi tempat yang sangat rawan, kejahatan bisa terjadi kapan saja.

Negosiasi berhasil, kami menjadi penumpang gelap sekarang. Supir Bus menjadi “Bos” kita dalam perjalanan menuju Lombok. “Kalian aman disini, jangan takut,” kata sopir. Kami pun harus berbagi tempat duduk di belakang jok supir yang begitu sempit. Ada beberapa keuntungan menjadi penumpang gelap, pertama kita bisa terhindar dari preman-preman. “kita tidak akan turun di pelabuhan yang banyak calo-calo. Tapi kita akan turun satu kilometer sesudah pelabuhan,” kata Ilham.

Di dalam Ferri semua tim keluar fuso. Memandang laut biru selat Lombok yang begitu indah. Berjemur di terik matahari, meskipun rasa khawatir menyelimuti. Adhit mengeluarkan kamera DSLR, memotret sebagai foto dokumentasi perjalanan ekspedisi. Sementara yang lain memilih beristirahat di sebuah tempat bersandar.

sumber: doc khanoman adventure Dari Tampomas Menuju Rinjani: Mimpi Anak Khanoman Adventure Sumedang http://sepcor.blogspot.co.id/2015/09/dari-tampomas-menuju-rinjani-mimpi-anak.html


Tiga jam perjalanan di laut, Pelabuhan Lombok sudah terlihat. Hiruk pikuk pelabuhan begitu terasa. Ini hari ketiga perjalanan ekspedisi, dan kami menjadi penumpang gelap kembali. Duduk di belakang supir Fuso lagi, sempit apalagi diisi oleh kami berlima. Sejauh satu kilometer dari pelabuhan kami diturunkan supir Fuso. “Ternyata Lombok begitu gersang, panas,” kata Ilham.

Pukul satu siang, tim mencarter mobil menuju desa Sembalun. Kebetulan saat itu, menjelang perayaan Hut Republik Indonesia  ke 66. Terlihat warga sedang melakukan aktivitas tujuh belasan. Ramai sekali. Pemandangan Rinjani mulai terlihat, keindahan alam mulai terasa. Kebun-kebun terlihat disana sini, jalanan yang curam, meliuk bagaikan ular membuat semua terasa mengasikan sekaligus menegangkan. Berbeda sekali suasana di desa dan kota di pulau Lombok. “Saya rasanya ingin sekali tinggal di daerah seperti ini,” ujar Ade Rian Santika.

Bersambung ke Episode 3


Related Post



Posting Komentar