Hari Ketujuh, kami harus segera meninggalkan Rinjani dengan segala keajaibannya: Savana, danaunya, atau puncaknya. “Hal yang paling berkesan di Rinjani, ketika melihat bayangan orang yang shalat. Begitu panjang,”ujar Restu.
Pukul enam pagi mereka naik ojeg yang ditukar dengan uang 75ribu rupiah. Ojeg melaju menuju terminal Kecamatan. Warga Flores sedang ramai gerak jalan menyambut HUT RI. Sesampai di terminal kami segera menaiki Elf menuju Mataram.
3,5 jam perjalanan menuju Mataram. Kami dijamu oleh warga Sumedang yang bekerja di Dinas Kehutanan di Mataram, Ismail Tansar. Plecing kangkung membuat kami ketagihan selain rasanya mantap juga enak.
Selepas makan kami diantar menuju pelabuhan. Jangan heran jika dipelabuhan kami ditanya orang,”mas boleh lihat karcisnya nggak?” ujar salah seorang calo. Itulah trik calo yang memanfaatkan situasi di tengah kepadatan.
Dengan cara melihat tiket seseorang lalu tiket tersebut dianggap palsu dan penumpang mesti membeli karcis dari mereka yang harganya sangat mahal.
Tapi, hal itu tak dirasakan kami sebab pak Isamil Tansar memberikan tiket gratis bagi kami anggota tim ekspedisi Khanoman menuju pulau Bali, tepatnya Pelabuhan Padang Bai.
Tak ada yang berkesan lagi dalam perjalanan pulang kali ini. Hanya saja kami, bertemu dengan teman sesama pendaki yang kami temui di Rinjani dulu, Iwan namanya.
Setelah berunding. Akhirnya tim, pun menginap satu hari di pulau dewata, Bali. Hanya satu hari. Tim diajak berkeliling di sekitar pantai Kuta, dan yang paling sulit di Bali adalah menemukan Makanan Halal. “Sepanjang jalan warung daging Babi mewarnai,” ujar Ilham
untungnya ia seorang vegetarian. Makanan dengan tahu dan tempe sudah cukup bagi Ilham.
Sepanjang malam, dihabiskan di Bali. Keesokan harinya mereka menyebrang menuju Banyuwangi. Tidak lama saat menyebrang hanya 30 menit saja.
Tetapi, manajemen waktu sangatlah penting, kami telat 5 menit saja kereta api yang membawa kami menuju Surabaya sudah berangkat. Terpaksa kami menunggu, kami mencari warnet untuk membunuh kebosanan. “Lumayan sambil update status,” ujar Ilham yang mengaku semenjak di Rinjani akses komunikasi jarang dilakukan.
Bersambung...
Pukul enam pagi mereka naik ojeg yang ditukar dengan uang 75ribu rupiah. Ojeg melaju menuju terminal Kecamatan. Warga Flores sedang ramai gerak jalan menyambut HUT RI. Sesampai di terminal kami segera menaiki Elf menuju Mataram.
3,5 jam perjalanan menuju Mataram. Kami dijamu oleh warga Sumedang yang bekerja di Dinas Kehutanan di Mataram, Ismail Tansar. Plecing kangkung membuat kami ketagihan selain rasanya mantap juga enak.
Selepas makan kami diantar menuju pelabuhan. Jangan heran jika dipelabuhan kami ditanya orang,”mas boleh lihat karcisnya nggak?” ujar salah seorang calo. Itulah trik calo yang memanfaatkan situasi di tengah kepadatan.
Dengan cara melihat tiket seseorang lalu tiket tersebut dianggap palsu dan penumpang mesti membeli karcis dari mereka yang harganya sangat mahal.
Tapi, hal itu tak dirasakan kami sebab pak Isamil Tansar memberikan tiket gratis bagi kami anggota tim ekspedisi Khanoman menuju pulau Bali, tepatnya Pelabuhan Padang Bai.
Tak ada yang berkesan lagi dalam perjalanan pulang kali ini. Hanya saja kami, bertemu dengan teman sesama pendaki yang kami temui di Rinjani dulu, Iwan namanya.
Setelah berunding. Akhirnya tim, pun menginap satu hari di pulau dewata, Bali. Hanya satu hari. Tim diajak berkeliling di sekitar pantai Kuta, dan yang paling sulit di Bali adalah menemukan Makanan Halal. “Sepanjang jalan warung daging Babi mewarnai,” ujar Ilham
untungnya ia seorang vegetarian. Makanan dengan tahu dan tempe sudah cukup bagi Ilham.
![]() |
| Jalan-jalan malam Bali (doc. khanoman adventure) |
Sepanjang malam, dihabiskan di Bali. Keesokan harinya mereka menyebrang menuju Banyuwangi. Tidak lama saat menyebrang hanya 30 menit saja.
Tetapi, manajemen waktu sangatlah penting, kami telat 5 menit saja kereta api yang membawa kami menuju Surabaya sudah berangkat. Terpaksa kami menunggu, kami mencari warnet untuk membunuh kebosanan. “Lumayan sambil update status,” ujar Ilham yang mengaku semenjak di Rinjani akses komunikasi jarang dilakukan.
Bersambung...
















