“Ibu,
engkaulah muara surga bagiku,” ujar Imam dalam hati.
Imam
anak semata wayang. Sejak masih dalam kandungan, ia harus ditinggalkan ayah
tercinta yang meninggal karena sakit. Untuk menghidupi anaknya, ibu Imam yang
bernama Fatma. Harus bekerja membanting tulang dengan bekerja serabutan: dari
mulai menjadi buruh cuci, hingga berjualan kue kering dari rumah ke rumah, atau
sekolah. Ibu Fatma lakukan demi anak tercintanya, Imam.
Tidak
pernah lupa, disetiap waktu yang lima, ibu Fatma selalu berdoa agar anaknya
bisa menjadi orang sukses, shaleh dan berbakti pada keluarga, bangsa, dan tentu
saja agamanya. Tetesan air mata yang jatuh di atas sajadah. Menjadi saksi
betapa ia begitu mencintai anak satu-satunya itu.
Dari
sejak Imam masih bayi, ia tidak lupa selalu dengarkan ayat suci Al-Qur’an di
telinga mungil anaknya. Tidak jarang, Imam tersenyum namun adakalanya anaknya
itu tertidur begitu nyenyaknya.
“Anakku, semoga kau bisa menjadi manfaat bagi
orang lain,” kecup Fatma pada kening anaknya itu.
Hingga,
Imam saat ini, sudah berusia 10 tahun. Ia, menjadi pribadi yang mandiri,
pintar, dan paling utama berbakti pada ibunya. Selepas sekolah, ia membantu
ibunya jualan kue-kue kering. Meskipun, ibunya sempat melarang anaknya itu
untuk berjualan.
Tapi, Imam meyakinkan ibunya bahwa ia ikhlas melakukan apapun
asal ibu bahagia. “Bu, aku ikhlas melakukan apapun, selagi itu halal,” ucap
Imam pada ibunya.
Ibunya
menangis, dalam hatinya ia tidak ingin melihat anaknya susah berjualan.
“Sudahlah nak, kamu belajar saja yang rajin. Biar ibu saja yang mencari nafkah.
Bukankah itu kewajiban ibu?” ujar ibunya.
Imam
memegang tangan ibunya, “Bu, tangan ini seharusnya lembut. Tangan inilah yang
selalu ibu angkat di setiap do’a sehabis shalat.”
“Tapi
nak, meskipun tangan ini tidak selembut kapas. Tidak seharum melati. Tapi,
percayalah dengan tangan ini, ibu berharap kau mampu menjadi anak shaleh dan
membanggakan,” ujar ibunya dengan air mata keridhaan menetes dari kelopak mata
yang sayu.
“Bu,
Imam sayang ibu. Imam berjanji akan selalu menjadi nafas dan energi bagi ibu,”
ucap Imam dalam.
“Meskipun,
kini Imam tidak memiliki ayah. Tapi Imam masih memiliki Ibu, muara surga yang
Allah berikan.” Imam merangkul ibunya. Hari itu, suara tangisan Ibu dan anak
menjadi saksi turunnya Ridha Ilahi.
Detik
itu, menjadi titik bagi Imam untuk membahagiakan ibunya. Ia, tidak pernah
mengeluh meski sepatu dan bajunya telah lusuh. Ia, tidak pernah menangis walaupun
buku tulisnya telah habis. Ia, menjadi murid yang sangat rajin lagi pandai.
Sepulang sekolah berjualan kue keliling kampung, dapat dua tiga rupiah sudah
untung. Selepas itu, ia mengaji melantunkan ayat-ayat Al Qur’an yang suci.
Tidak lupa, apabila ada tugas sekolah ia kerjakan dengan teliti.
source: google (www.ummi-online.com)
Ibunya
menjadi inspirasi, meskipun ia tidak kaya harta tapi ibunya selalu berpesan.
“Nak, walaupun harta kita tak seberapa. Tapi ingat, hati kita harus seluas
samudera. Jaga selalu shalatmu, jaga selalu kejujuranmu. Karena itu nilai
terpenting dalam kehidupan,” pesan ibunya setiap Imam akan tidur.
Imam,
selalu berdoa agar ibunya selalu sehat. Karena ia tahu, tanpa kasih sayang ibu.
Ia tidak mungkin ada di dunia ini. Harta yang paling berharga dan tidak
ternilai yaitu, Ibu.
“Aku
sayang Ibu,” Imam membisikan pada telinga ibunya, yang menemani di setiap tidurnya.
[]